ADPMET
News, Jakarta – Draft Rencana
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun
2021-2030 tingkatkan porsi pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan
(EBT) menjadi 48 % atau 119.899 MW. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulya menyebutkan RUPTL
yang disusun saat ini lebih hijau dibanding RUPTL tahun 2019-2028 yang porsi
EBT masih kisaran 30%.
“Kami ingin RUPTL yang sedang disusun
saat ini adalah RUPTL yang greener,
lebih hijau. Dalam artian, porsi EBT lebih baik daripada versi RUPTL
sebelumnya. Perbandingannya, RUPTL yang ada saat ini (2019-2028) hanya
merencanakan 30% EBT. Sementara, yang kita susun saat ini minimum 48%,” kata
Rida Mulya, dikutip dari siaran pers Kementerian ESDM Nomor
191.Pers/04/SJI/2021, Jum’at 4 Juni 2021.
Rida juga mengungkapkan berbagai
kebijakan “hijau” lainnya yang masih dalam tahap pembahasan pada RUPTL
2021-2030. Kebijakan tersebut antara lain konversi Pembangkit Listrik Tenaga
Diesel (PLTD) ke pembangkit EBT, co-firing
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara, retiment pembangkit tua, dan relokasi pembangkit ke system yang
memerlukan. Selain itu, Ditjen Ketenagalistrikan juga merancang template Net Zero Emission (NZE), sebagai
perwujudan realisasi komitmen Presiden Joko Widodo pada COP 21 tahun 2015 dan
juga sejalan dengan target bauran EBT sebesar 23% di tahun 2025.
“Kita sedang menyusun program, termasuk
regulasinya. Bagaimana mengurangi porsi pembangkit (fosil) secara natural,”
lanjut Rida.
Sebagai informasi, penyusunan draft
RUPTL tersebut hingga kini masih dalam tahap finalisasi. Rida menargetkan dapat
selesai paling lambat akhir bulan ini. “Target RUPTL selesainya sesegera
mungkin. Juni maksimum. Hanya tinggal beberapa isu memerlukan kesepakatan
bersama dan ada sedikit waktu untuk running
model, missal scenario ini dipakai seperti apa dampaknya ke biaya pokok
penyediaan listrik, subsidi, dan lainnya,” ujarnya dikutip dari Bisnis.com.
Penyusunan RUPTL 2021-2030 cukup
kompleks sehingga memakan waktu yang cukup lama dibanding dengan RUPTL
sebelumnya. Ia menyebutkan beberapa penyebabnya antara lain, pandemi covid-19,
proyeksi pertumbuhan permintaan listrik yang terlalu tinggi, dan perkembangan
global menuju transisi ke energi hijau. (Bgs)
Sumber : Kementerian ESDM dan Bisnis.com